25 Juni 2007

Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan,


Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan,
Megawati Soekarnoputri
Pada Peringatan Kelahiran Pancasila,
Ende (NTT) 1 Juni 2007


As. Wr. Wb
Salam sejahtera untuk kita semua.
Merdeka!

Alhamdullillah, pada tanggal 1 Juni ini 1945, seorang yang bernama Bung Karno, seorang pemimpin bangsa yang pernah tinggal di Ende sini, menyampaikan pidato mengenai sesuatu hal yang sangat dinanti oleh rakyat Indonesia pada waktu itu.

Hari ini, tanggal 1 Juni 2007, kita memperingati hari kelahiran Pancasila yang ke-62. Pancasila diucapkan oleh Bung Karno di dalam suatu rapat menjelang kemerdekaan. Ketika itu beliau ditanya oleh pemimpin sidang, “Apa yang akan kita jadikan sebagai dasar negara kita nantinya kalau kita merdeka?”

Pada waktu itu tidak ada yang bisa menjawab dengan baik apa yang ditanyakan oleh ketua sidang. Bung Karno angkat bicara. Beliaulah yang mengutarakan dasar negara, yang terdiri dari lima sila. Saya tidak akan mengutarakan satu per satu lagi, karena tadi telah diucapkan. Tetapi intinya, itulah dasar negara kita, itulah tujuan kemerdekaan kita, dan diberi nama sebagai Pancasila. Itu dari bahasa Sanskrit: Panca itu lima, Sila itu dasar.

Bung Karno waktu itu seorang pemimpin yang masih muda. Sejak beliau sekolah, beliau selalu berfikir, mengapa penduduk di wilayah yang disebut Nusantara ini, meskipun telah berkali-kali melakukan perlawanan, tidak bisa lepas dari penjajahan sampai 350 tahun lamanya.

Kita ingat di dalam sejarah bangsa, ada perang yang dilakukan oleh Hasanuddin, yang dilakukan oleh Patimura, yang dilakukan oleh Diponegoro, yang dilakukan oleh Teuku Umar. Juga di berbagai daerah lain di seluruh Nusantara ini timbul pemberontakan. Perlawanan demi perlawanan dilakukan, tetapi tidak berhasil memutus belenggu penjajahan tersebut.

Itulah yang direnungkan Bung Karno. Ketika masuk ke dalam penjara pun, ide ini, cita-cita itu tetap berkorbar di dalam dirinya. Beliau terus melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan cita-cita itu. Akhirnya penjajah memutuskan, agar tidak bisa berkomunikasi, beliau dibuang di daerah nun jauh di timur, yang disebut pulau Flores, di kota Ende ini.

Anak-anak muda kita semestinya bisa berpikir. Kalau sekarang kalian berpanas-panas, badan kalian merasa kepanasas dan berkeringat, pengorbanan itu belum seberapa. Tetapi coba pikirkan, bagaimana penderitaan Bung Karno. Beliau dibuang, tidak boleh berkomunikasi dengan masyarakat, bahkan masyarakat pun menghindar karena takut. Beliau dikucilkan, bukan di tempat kelahirannya, melainkan di tempat yang jauh dari keluarganya.
Tetapi beliau tidak menyerah. Karena beliau memang berkeinginan, bercita-cita untuk mempersatukan seluruh wilayah, pulau-pulau yang ada di Nusantara ini, menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berpikir, semua ini harus disatukan sebagai suatu negara, dan mempunyai nama sebagai suatu bangsa, yaitu Bangsa Indonesia.

Bayangkan, jika kita tidak merdeka, masih menjadi bangsa yang terjajah, apakah kita bisa berkumpul di sini memperingati Pancasila? Apakah kita bisa sekolah? Apakah kita bisa mempunyai drum band? Tidak. Sama sekali tidak. Kita akan tetap menjadi bangsa yang terjajah, yang diperas, yang hanya dihisap, karena kekayaan bangsa ini luar biasa.

Kemarin saya datang melihat ke Museum Bahari. Di sana kita bisa tahu hasil-hasil apa saja yang bisa diambil dari laut kita. Daerah Lembata ini selalu dilewati ikan paus yang masuk ke Republik kita ini. Tahukah kalian, ikan paus itu hidupnya mengelilingi samudera di seluruh dunia.

Sangat luar biasa, karena kalau ikan paus itu makan, mereka seperti perahu menangkap ikan. Mulutnya dibuka lebar-lebar, dan berton-ton ikan kecil dan plankton akan masuk ke dalam mulutnya, diisap sedemikian rupa. Bayangkan kalau yang datang berkelompok, berapa banyak makanan yang dia ambil. Dan di lautan kita pun ikan-ikan paus itu masuk. Apa artinya? Itu menunjukkan daerah itu pasti kaya dengan makanan.

Anak-anak, cobalah berpikir dengan cerdas, dengan pintar. Karena Bung Karno juga pernah menghadapi banyak pertanyaan, “Kalau kita sudah memiliki dasar negara itu, bagaimana melaksanakannya, Bung Karno?” Jawab Bung Karno, “Mudah. Asal niat itu ada, rakyat kita mau melaksanakan hal itu.”

Yang pertama adalah keyakinan di dalam diri kita, bahwa dengan Pancasila, kita dapat mengisi kemerdekaan itu. Ketika negara kita telah menjadi republik yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dasar falsafah Pancasila, kita akan memajukan dan mengisi kemerdekaan itu melalui Trisakti.

Apa Trisakti itu? Trisakti itu terdiri tiga hal. Yang pertama, berdaulat di bidang politik. Apa artinya berdaulat di bidang politik? Setiap insan, warga Bangsa Indonesia harus mempunya rasa bangga kepada dirinya. Kepada siapa pun kalau ditanya, dia akan mengatakan dengan menegakkan kepala, “Saya adalah bangsa Indonesia.”

Saya ketika menjadi Wakil Presiden, menjadi Presiden, sering pergi kemana-mana, ke luar negeri. Saya selalu dielu-elukan di banyak negara. Karena itu sering hati saya merasa sedih kalau saya melihat bangsa saya tidak mempunyai rasa hormat, harga diri kepada dirinya sendiri.

Contohnya, banyak saudara-saudara kita di sini, pergi ke Malaysia dengan ilegal, dan di sana mereka bersembunyi hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Dan ketika mereka tertangkap di sana, mereka direndahkan. Berapa kali saya harus menolong mengembalikan, membantu supaya mereka tidak disia-siakan. Tetapi apakah selalu kita harus melakukan seperti itu? Dulu Bung Karno mengajarkan, hanya bangsa yang besar mempunyai harga diri. Maka kita juga bisa menjadi bangsa yang besar.

Saudara-saudara, hal itu seharusnya dilakukan oleh anak-anak muda kita. Mungkin karena mereka tidak tahu sejarah bangsanya sendiri, mereka hanya berpikir, “Ya, kita ini sudah merdeka, mau apalagi? Sudah enak”. Tidak bisa begitu, saudara-saudara. Kaum muda itu adalah penerus bangsa. Tanpa kalian, kita tidak akan jalan, republik ini tidak akan eksis, bangsa Indonesia tidak akan ada di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Bangsa-bangsa lain juga harus bekerja mati-matian. Tahun ’60-an, yang namanya Republik Rakyat Tiongkok, sekarang dikenal sebagai China dengan rakyatnya yang berjumlah 1,2 milyar, keadaannya sama dengan Indonesia. Tapi sekarang China akan menjadi negara superpower kedua setelah Amerika. Karena apa? Apakah karena kekayaan alamnya? Tidak! Apakah karena kekuatan militernya? Tidak! Tetapi mereka dapat membangun dirinya, karena satu keyakinan bahwa membangun negara akan mempunyai harga diri.

Di mana-mana orang China yang muda-muda kalau ditanya, “Kamu dari mana?” akan menjawab, “Kami dari China”. “Lalu apa yang dikerjakan oleh negaramu?” “Kami membangun dengan segala kekuatan kami, kami membentuk anak-anak menjadi orang-orang yang pandai, dengan demikian mereka dapat kami sekolahkan kemana pun juga.”

Tetapi jika belajar saja sudah malas, jangan harap akan maju. Kalau saya bertemu dengan kalian, dan saya tanya, “Kamu pintar tidak di sekolah?” He-he, ketawa saja. Seharusnya kalau saya tanya begitu, jawab, “Ya, bu, saya pintar di sekolah, saya juara.” Kalau saya tanya, “Apakah kamu senang ilmu pasti, matematika?” He-he, ketawa saja. “Matematika itu susah, bu.” Berarti tidak ada perjuangan sama sekali.

Berdaulat di bidang politik itulah yang harus kita bangun kembali. Yang kedua dalam Trisakti adalah, berkepribadian dalam kebudayaan. Mengapa saya selalu menyebut berkepribadian dalam budaya bangsa? Itu sangat-sangat penting. Boleh saja kalian senang dengan drum band, tapi kalian juga harus bisa bermain sasando. Apa kalian bisa bermain sasando? Coba jawab. Nah, tidak kan?

Bermain sasando memang lebih sulit dari memainkan drum band. Boleh tanya kepada Bapak Bupati atau Bapak Gubernur. Kenapa saya tahu? Karena saya dulu diharuskan belajar musik. Oleh siapa? Oleh Bung Karno. Karena apa? Itulah bentuk berkepribadian di bidang budaya.

Saya bisa memainkan gamelan Jawa, karena ayah saya menyuruh kami, anak-anaknya, harus memilih salah satu alat musik, boleh alat musik modern dari barat atau alat musik tradisional dari budaya kita sendiri. Berkepribadian dalam kebudayaan itulah yang harus kita bangun dan itulah yang harus pemerintah bangun kembali. Tanpa itu nonsens kita menjadi bangsa yang besar.

Yang ketiga dari Trisakti adalah berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi. Kita banyak membaca, di mana-mana terjadi bahaya kelaparan, kekurangan beras. Wahai rakyat Nusa Tenggara Timur, kalian tidak perlu makan beras. Beras itu sama, equivalen dengan yang namanya singkong, ubi, talas, sukun. Di Ende sini saya melihat banyak pohon sukun.

Bung Karno sampai merenungkan nasib bangsa ini di bawah pohon sukun. Berhari-hari beliau berpikir, “Ya Allah Yang Maha Kuasa, tunjukkan kepadaku kalau sekiranya suatu saat saya bisa memimpin bangsa dan negara ini, apa yang bisa saya berikan kepada mereka sebagai tujuan hidup berbangsa dan bernegara?” Itulah yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila. Tanpa Pancasila, boleh kita coba, apakah negara Republik Indonesia itu akan tetap tegak, seperti tegaknya bendera Merah-Putih ini.

Anak-anak, apa kalian pernah menyimak dengan baik apa arti Indonesia Raya yang selalu kita nyanyikan dengan sikap yang siap dan berdiri. Mengapa bendera kita Merah-Putih? Tidak ada satu pun yang boleh menurunkan bendera itu, kecuali memang sudah waktunya untuk diturunkan. Yaitu pukul 6 sore. Dan itu selalu dengan sikap hormat.

Karena itu saya melihat dengan sedih kalau bendera kita dirobek. Saya heran, tidak ada yang berani mengatakan, “Jangan robek bendera bangsaku!” padahal saya melihat itu dilakukan oleh anak-anak negeri ini sendiri. Baru ketika saya menjadi Presiden, saya perintahkankan “Tangkap mereka, karena telah menghina negara dan bangsanya sendiri.”

Itulah harga diri. Di mana-mana, kalau kita menjadi juara pertama dalam olahraga, kita menerima suatu kehormatan dengan dinyanyikan lagu kebangsaan. Sekarang olahraga kita entah nomor berapa, selalu nomor ekor. Padahal saya dengar di sini banyak olahragawan yang hebat. Orang Timor biasanya lebih kuat dari pada orang dari wilayah barat. Kalau orang Jawa itu biasanya orangnya itu lemes-lemes. Untung saya ini tidak Jawa penuh, jadi saya sedikit-sedikit agak kuat juga. Karena kalau tidak, tentu lemes, belum apa-apa sudah pingsan karena di sini panasnya luar biasa.

Nah, dengan berdaulat di bidang politik, berkepribadian di bidang budaya, berdikari atau berdiri sendiri di bidang ekonomi, kita telah memenuhi semua tujuan yang ingin dicapai di dalam Pancasila itu sendiri.

Terakhir yang ingin saya kemukakan di sini adalah ucapan Bung Karno, “Saya tidak menciptakan Pancasila, tetapi saya menggalinya dari Bumi Pertiwi sendiri.” Itu adalah adat-istiadat, budaya dari wilayah ini. Apa inti dari Pancasila itu? Yaitu sifat gotong-royong, kekeluargaan yang tidak dimiliki oleh budaya Barat, orang Barat.

Orang Barat itu mengutamakan individualisme. Dia memberi hak kepada perorangan. Di sana anak umur 18 tahun sudah diberi hak penuh, “Kamu harus berdiri sendiri, tidak boleh ikut orang tua lagi, tidak bisa minta makan pada orang tua lagi, tidak bisa minta uang pada orang tua lagi.” Meskipun orang tuanya kaya raya, anaknya keleleran juga tidak apa-apa. Kita mau seperti itu?
Sebaliknya di Barat, orang tua kalau sudah tidak bisa apa-apa dimasukkan ke dalam asrama untuk orang tua. Di situ dia dilayani dan harus membayar, sementara anak-anaknya tidak ada yang peduli terhadap mereka. Saya pernah masuk ke rumah sakit yang memelihara para orang tua seperti itu. Dokter ada, pelayan ada. Tapi orang tua itu menangis ketika saya tanyakan, “Apakah kamu rindu kepada anak-anakmu?” “Ya.” “Apakah anak-anakmu suka datang?” “Tidak”

Lalu dia malah bertanya, “Kamu alangkah manisnya, kamu datang dari mana, nak?” “Saya datang dari negeri yang jauh, namanya Indonesia.” “Apakah orang tua di Indonesia diperlakukan seperti ini?” “Tidak. Kami menyayangi orang tua kami, kami bawa ke rumah kami, kami rawat mereka.”

Jadi mau pilih yang mana? Jawab! Di sini banyak orang tua. Mau gotong-royong atau individualisme? Anak-anak jangan minta uang lagi, karena pada umur-umur segini sudah harus cari duit sendiri. Pingsanlah. Di Amerika begitu lho. Coba tanya pada mereka yang pernah sekolah di sana. Untuk mencari tambahan penghasilan, menjadi pelayan restoran, atau menjadi tukang semir sepatu. Tapi itu halal.

Tinggal pilih. Itu resiko kehidupan, saudara-saudara. Tapi dalam hal ini ada yang namanya sifat harga diri. Mereka menegakkan dirinya, “Saya bangsa Amerika”. Makanya mereka menjadi bangsa yang besar, yang sekarang bisa dikatakan bangsa yang menguasai dunia, yang selalu dikatakan, tanpa Amerika kita tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah kita mau selalu mengatakan seperti itu?

Ketika saya menjadi Presiden saya selalu mengatakan, “Benar bangsa Amerika adalah bangsa yang besar. Benar rakyat Republik Rakyat Tiongkok adalah bangsa yang besar. Tetapi mereka adalah sahabat-sahabat Indonesia. Maka bangsa Indonesia itu pun harus sejajar di mata mereka. Itulah bangsa Indonesia. Mereka tidak boleh mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bisa dijajah lagi.”

Apakah penjajahan itu masih ada, saudara-saudara? Di dalam dunia pada saat ini, ya. Tentu ada yang bertanya, “Mengapa Ibu Mega bisa mengatakan seperti itu, karena sekarang bukan lagi jaman dahulu?” Memang, tetapi sifatnya sama. Mereka menginginkan kekayaan dari suatu negara yang dijajah itu bisa dibawa ke negerinya. Kalau sekarang tentunya lewat cara-cara yang halus, di bidang perekonomian.

Saya mau tanya sama yang muda-muda, karena makin lama saya pun menjadi semakin tua. Kita ini mau menjadi apa sih? Apakah kalian akan selalu berpikir, kalau kita ini hidup harus dengan berhutang? Jawab. Jawabnya yang bersemangat. Ayo, mau berhutang apa tidak? “Tidaaaakk!” nah kan jelas.

Ya, bayangkan kalau kita harus berhutaaaang terus. Sekarang keadaan cuaca begini, belum tentu panen bagus, kita sudah mulai mencari hutang-hutang untuk beras. Iya kalau Thailand mau memberikan, iya kalau Vietnam mau memberikan. Kalau mereka mengalami cuaca yang sama dengan kita, mereka tentunya harus memberikan berasnya kepada rakyatnya dulu, bukan kepada orang lain. Lalu kita mau makan apa? Ayo, Bapak Bupati coba dengar, supaya jangan berpikir akan dapat beras raskin dan sebagainya.

Itulah maksud Bung Karno mengapa kita harus berdiri di atas kaki sendiri. Dengan tangan yang ada, kita bangun Indonesia Raya ini. Apakah tidak bisa? Bisa. Siapa yang akan mengerjakan? Bukan hanya pemerintah, tetapi seluruh warga bangsa Indonesia dengan satu syarat: Pertama, mempunyai harga diri. Kedua, dengan budaya yang ada kita mempunyai sikap sopan santun dengan baik. Ketiga, kita bekerja keras membangun kembali dengan membutuhkan membuat pangan itu selalu ada. Dengan demikian, kalau hal itu dilakukan, maka apapun yang kita inginkan itu pasti dapat terlaksana.

Dan kita hanya 220 juta manusia di Indonesia ini, saudara-saudara. Tetapi kekayaan alam kita melimpah-limpah. Apa salahnya dengan negeri kita ini sehingga kehidupan kita demikian terpuruk? Karena apa? Manusianya salah me-manage-nya. Manusianya tidak melakukannya dengan benar. Ya sekarang tinggal pilih mau yang mana, mau ikut Ibu Mega atau seperti sekarang saja?

Haaahh....semakin panas ya? Mari kita siapkan lagi pasukan, setelah itu kita bubarkan. Terimakasih atas kehadirannya, dan saya pamit untuk segera meninggalkan Nusa Tenggara Timur ini untuk melanjutkan tugas ke provinsi yang lain.

Terimakasih.
Assalammualaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar: